Thursday, April 26, 2012

RINGKASAN JURNAL TEORI ORGANISASI UMUM 2

Kelompok 6: - Dipo Sumar Prabowo -Banu Satria Imam Anggara -Ramzi Wahid ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI LUAR JAWA Penulis: ANDI IRAWAN Model Persamaan Simultan 24 halaman jurnal PENDAHULUAN Pasca penghargaan swasembada, ada kesan di kalangan pengambil kebijakan masalah pangan khususnya beras dianggap telah tuntas(penghargaan FAO tahun 1984). Namun dikejutkan pada tahun 1989 kita telah mengimpor beras sebesar 464.449 ton bahkan 10 tahun kemudian kita dikejutkan dengan jumlah impor yang sangat spektakuler yakni sebesar 5,8 juta ton di tahun 1998. Hal ini disebabkan karena mulai 1984 di pulau jawa lahan-lahan sawah subur digunakan untuk kepentingan industri dan perumahan. Walaupun selanjutnya ada Keppres No 32 tahun 1992 tentang larangan pengalihan fungsi lahan irigasi teknis di Pulau Jawa, tetapi gagal mencegah proses konversi lahan-lahan irigasi di Jawa.
MASALAH Akibat problem konversi lahan di pulau Jawa, maka potensi produksi gabah hilang sekitar 7,5 ton per tahun. Jika konversi lahan dengan laju yang begitu cepat sampai tahun 2020, maka potensi kehilangan gabah di Jawa sekitar 82 juta ton per tahun, setara dengan pemenuhan kebutuhan beras bagi seratus juta penduduk pulau Jawa tahun 2020, sementara hingga saat ini 63 persen suplai beras nasional masih bersumber dari pulau Jawa. DAFTAR PUSTAKA Colman, D. and T. Young. 1990. Principles of Agricultural Economic Market and Prices in Less Developed Countries. Cambridge University Press. Cambridge. Hutauruk, J. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk Terhadap Permintaan dan Penawaran beras di Indonesia. Tesis Magister Sains Institut Pertanian Bogor. Intrigator, M.D. 1978. Econometric Models, Techniques and Application. Prentice-Hall International. New Delhi. Irawan, A. 1997 (a). Kebijakan Harga dan Keberlanjutan Produksi Padi. Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI): 15 (4): 579-586. --------. 1997(b). Kebijakan Harga dan Keberlanjutan Produksi Padi di luar Jawa. Kompas 13/2/ 1997. -------- . 1998. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Studi Respon Penawaran. Tesis Magister Sains Institut Pertanian Bogor. --------. 1999. Analisis Respon Penawaran Padi Sawah dan Ladang di Jawa dan Luar Jawa. Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI): 17 (1):19-31. --------. 2000. Perilaku Suplai Padi Indonesia dan Implikasinya terhadap Peningkatan Produksi dalam Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan tahun 2001 ke Depan. ISBN:979-8094-68-9. Kasyrino, F. 1996. “Arah Pengembangan Agribisnis di Pulau Jawa pada Abad 21”. Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Masa Depan Pulau Jawa abad 21. Jakarta 29 - 30 Oktober 1996. Koutsoyianis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition. The MacMillan Press Ltd. London. Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R dan A. Saefuddin. 1996. Pembangunan Agribisnis Berwawasan Lingkungan. Makalah disampaikan dalam Forum Komunikasi Tanggapan Pendidikan Tinggi dalam Bidang Agroindustri Menghadapi Era Pasar Bebas. Cisarua 8-11 Desember 1996. Theil, H and A. Zellner. 1962. Three Stages Least Squares; Simultaneous Estimation of Simultaneous Equation. Econometrica 1:54-80. HIPOTESIS Penyusutan lahan di Jawa seperti dikemukakan di atas tak pelak lagi menjadi kontribusi utama turunnya produksi beras nasional. Di tahun 1998, pemerintah terpaksa mengimpor beras dalam jumlah yang sangat mengejutkan yakni sebesar 5,8 juta ton. Sementara itu sentra produksi beras di luar Pulau Jawa sampai sekarang belum juga mampu menyamai prestasi lahan dan petani di Pulau Jawa, dimana produktivitas padi sawah dan ladang tahun 1996-2000 di Jawa adalah rata-rata 50,14 kuintal per hektar lebih tinggi 43% dibanding produktivitas luar Jawa yang rata-rata hanya sebesar 35,05 kuintal per hektar (Irawan, 2000) Lahan sawah di Pulau Jawa sendiri tampaknya akan terus bergeser menjadi lahan untuk industri dan jasa sehingga dalam era selanjutnya kawasan luar Jawa diharapkan akan menjadi tumpuan harapan untuk berperan besar. Untuk mengetahui apakah memang kawasan luar Jawa mampu menjadi subtitusi penting sebagai pensuplai beras nasional dikaitkan dengan kondisi permintaan (konsumsi) beras dan sejumlah kebijakan perberasan di Indonesia, maka sangat diperlukan informasi tentang perilaku penawaran dan permintaan beras luar Jawa. Informasi dari keragaan pasar padi/beras luar Jawa ini diharapkan dapat memberikan suatu saran kebijakan sehubungan dengan kawasan luar Jawa di masa mendatang sebagai pendukung ketersedian pangan (beras) nasional II. VARIABLE YANG DIGUNAKAN 2.1. Fungsi Produksi dan Penawaran Beras Fungsi produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut: Qs = q (A, F, L V) …………………(2.1) Dimana: Qs = Jumlah produksi padi (unit) A = Luas Areal padi (unit) F = Jumlah pemakaian pupuk (unit) L = Jumlah tenaga kerja (unit) V = Faktor produksi lainnya (unit) Untuk memaksimumkan produksi padi dibutuhkan biaya tertentu. Perumusan biaya dalam bentuk anggaran total adalah sebagai berikut: B = Bo + Pa A + Pf F + Pl*L + Pv*V ………… (2.2) Dimana: B = Biaya total (Rp) Bo = Biaya Peubah (Rp) Pa = Harga lahan (Rp/unit) Pf = Harga pupuk (Rp/unit) Pl = Harga tenaga kerja (Rp/unit) Pv = Harga faktor produksi lainnya (Rp/unit) 2.2. Fungsi Permintaan Fungsi permintaan beras diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Fungsi utilitas dapat dirumuskan sebagai berikut: U = u(Qd, R) ……………………………………(2.14) Dimana: U = Total utilitas dari beras (unit) Qd = Jumlah beras yang dikonsumsi (unit) R = Jumlah komoditi lain yang dikonsumsi (unit) suatu komoditi pada tingkat harga yang berlaku dan tingkat pendapatan tertentu. Dengan demikian sebagai kendala untuk memaksimumkan fungsi utilitas adalah sebagai berikut: Y = Pb * Qd + Pr * R ……………………………. (2.15) Dimana: Y = Tingkat Pendapatan (Rp) Pb = Harga beras (Rp/unit) Pr = Harga komoditi lain (Rp/unit) 2.3. Respon Beda Kala Komoditas Pertanian Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah tenggang waktu antara menanam dengan memanen (gestation period). Jika terjadi peningkatan harga beras (gabah) maka tidak segera diikuti oleh peningkatan produktivitas dan areal karena keputusan alokasi sumberdaya telah ditetapkan pada saat sebelumnya, hal ini menurut Tomek dan Robinson (1990) disebut asset fixity (kekakuan aset). Petani tidak akan dapat segera menyesuaikan kegiatan produksi mereka sebagai respon setelah adanya stimulus pasar. Hal ini terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: 1. Secara psikologis, adanya hambatan untuk segera melakukan perubahan karena telah terbiasa (habit) dengan perilaku lama. Di sini muncul faktor kelembaman (inersia) dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan. Misalnya saja orang tidak akan segera meningkatkan konsumsinya begitu terjadi kenaikan pendapatan mereka karena penyesuaian untuk meningkatkan konsumsi ini memerlukan waktu. Dalam bidang pertanian kelembaman ini juga terjadi, misalnya jika terdapat perubahan yang melibatkan adopsi teknologi baru yang secara tradisional tidak diusahakan. 2. Perlunya penyesuaian parsial karena adanya kendala kelembagaan seperti kuota produksi dan ketersediaan sarana pendukung berupa kredit usahatani. Jika terjadi perubahan harga faktor produksi maka petani memerlukan waktu untuk melakukan subtitusi input dan hal ini membutuhkan tenggang waktu (gestation period). 3. Adanya kendala kelembagaan seperti adanya kontrak/perjanjian, maka selama masa kontrak pihak yang terlibat harus mentaatinya, dalam hal pertanian alokasi sumberdaya baru dapat dilakukan setelah kontrak selesai. 2.4. Model Distribusi Beda Kala Nerlove (1958) berpendapat tidak mudah menghitung elastisitas penawaran jangka pendek karena sebenarnya merupakan elastisitas titik sehingga nilainya berubah pada titik yang berbeda. Sedang elastisitas jangka panjang sukar dihitung secara langsung. Ia menawarkan cara baru dengan model distribusi beda kala penyesuaian parsial yang kemudian terbukti dapat menjelaskan fenomena penawaran dengan lebih baik. Estimasi distribusi beda kala dapat dilakukan dalam tiga kelompok pendekatan (Nerlove (1958): 1. Metode penaksiran khusus. Merupakan suatu pendekatan dengan tidak mengemukakan suatu asumsi yang spesifik tentang bentuk distribusinya dengan cara menghentikan proses model regresi jika koefisien pada peubah beda kala yang dimasukkan mulai tidak nyata secara statistik atau koefisien regresinya berubah tanda saat peubah bebasnya ditambah. 2. Dengan mengasumsikan suatu bentuk umum distribusi beda kala dan mengestimasi parameter yang menegaskan distribusinya dengan tepat. Dalam kelompok ini ada cara dari Koyck, Friedman, Fisher dan Cagan. 3. Metode penyesuaian parsial dengan mengembangkan suatu model dinamik yang eksplisit mengenai perilaku produsen, yang antara lain dikembangkan oleh (Nerlove, 1958). Pendekatan pertama dikritik karena memiliki beberapa kelemahan seperti tidak adanya petunjuk apriori mengenai panjang maksimum beda kala, masalah pada derajat bebas; jika peubahnya banyak menyebabkan derajat bebasnya kecil serta ada kecenderungan multikolinearity yang tinggi. 2.5. Model Penyesuaian Parsial Model distribusi beda kala penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer digunakan dalam studi-studi respon penawaran. Dalam bentuk yang paling sederhana yaitu model penyesuaian parsial sederhana berderajat satu, misalnya dalam konteks respon areal padi terhadap harga. Areal panen padi yang diinginkan (A* t) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas, maka persamaannya menjadi: A*t= bo + b1 X t + ut ......... (2.22) dimana A*t= areal panen yang diinginkan X t= harga beras 2.6. Model Respon Penawaran Padi Model empiris penawaran padi yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya menggunakan model penyesuaian parsial Nerlove. Untuk memperoleh dugaan respon penawaran maka dilakukan pendugaan tak langsung. Ghatak dan Ingersen dalam Irawan (1999) mengatakan bahwa hubungan antara luas areal panen, produktivitas dan out put, dalam bentuk yang sederhana adalah output (Q) dispesifikasikan sebagai perkalian antara luas areal panen (A), produktivitas (Y) dan peubah teknis dan ekonomi lainnya (Z), sehingga dapat dituliskan sebagai berikut: Q = A.Y ............(2.26) Diasumsikan areal panen (A) dan produktivitas (Y) merupakan fungsi dari harga, sehingga respon terhadap perubahan harga (P) adalah sebagai berikut: A = A(P,Z...) Y = Y(P, A, Z, ...) III. KONTRUKSI MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS 3.1. Konstruksi Model Model dalam studi ini dirumuskan melalui persamaan-persamaan yang terdiri dari peubah-peubah penjelas (explanatory variables) yang digunakan dalam model ekonomi beras luar Jawa ini. Terdapat 10 peubah endogen yang menjelaskan perilaku luas areal panen, produktivitas padi, produksi padi dan beras, impor beras nasional, permintaan beras luar Jawa, perubahan stok luar Jawa, harga padi dan harga beras. Berdasarkan kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika, maka model struktural yang disajikan dalam studi ini adalah model yang dinyatakan yang paling memuaskan. 3.2. Identifikasi Model Dalam identifikasi model struktural ada beberapa unsur yang harus diperhatikan (Koutsoyiannis, 1977) antara lain: 1. Jumlah current endogenous variables dalam model =G 2. Jumlah current endogenous variables yang terdapat pada setiap persamaan =g 3. Jumlah predetermined variables dalam model = K 4. Jumlah predetermined variables yang terdapat pada setiap persamaan = k Menurut order condition, suatu persamaan dapat diidentifikasikan jika jumlah peubah yang tercakup dalam persamaan lebih besar atau sama dengan jumlah seluruh peubah endogen dikurangi satu. Dengan demikian rumus identifikasi model struktural menurut order condition adalah sebagai berikut: (G-g) + (K-k) ³ (G-1) 3.3. Motode Pendugaan Model Jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified maka persamaan ini dapat diduga dengan metode LIML (Limited Information Maximum Likelihood), FIML (Full Information Maximum Likelihood), 2SLS (Two Stage Least Squares) atau 3SLS (Three Stage Least Squares). Pemilihan metode di atas disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendapatkan koefisien persamaan struktural secara simultan. Pendugaan parameter secara simultan akan membantu simulasi kebijakan secara tepat dan efisien. 4.1. Areal Panen dan Produktivitas Padi di Luar Jawa Koefisien determinasi (R2) dari persamaan areal dan produktivitas cukup tinggi yakni masing-masing 0,8597 dan 0,8719. Nilai R2 dari persamaan areal sebesar 0,8597 berarti 85,97 persen dari variasi dari areal panen dapat dijelaskan oleh variasi peubahpeubah penjelasnya. Sedangkan nilai R2 dari persamaan produktivitas sebesar 0,8719. Informasi di atas menunjukkan bahwa yang mempengaruhi perilaku produksi padi di Luar Jawa adalah harga padi, dimana petani merespon harga yang tinggi dengan meningkatkan produksi padi dengan cara meningkatkan luas areal (ekstensifikasi). Adapun nilai elastisitas luas areal terhadap harga adalah inelastis yakni 0,4725 yang berarti jika harga padi (gabah) naik sebesar 10 persen maka akan meningkatkan arealpadi sebesar 4,725 persen. 4.2. Stok Beras Luar Jawa
SAMPLING
Keterangan: Huruf dibelakang nilai t-hitung menunjukkan taraf nyata (a) yaitu: A berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,01 B berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,05 C berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,10 D berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,15 E berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf a = 0,20 Impor nasional juga berpengaruh siknifikan terhadap stok beras luar Jawa pada taraf a = 0,10. Elastisitas stok beras luar Jawa terhadap impor nasional ini adalah inelastis baik dalam jangka pendek (0,2248) dan jangka panjang (0,6972). Hal ini menunjukkan jika impor beras nasional naik sebesar 10 persen maka akan meningkatkan stok beras luar Jawa sebesar 2,248 persen dalam jangka pendek dan 6,972 dalam jangka panjang. Produksi beras luar Jawa juga siknifikan pengaruhnya terhadap stok beras luar Jawa pada taraf a = 0,05. Adapun nilai elastisitas stok beras luar Jawa terhadap produksi beras luar Jawa adalah elastis baik dalam jangka pendek (2,66) dan jangka panjang (8,25) yang menunjukkan jika produksi beras luar Jawa naik sebesar 10 persen maka akan meningkatkan stok beras luar Jawa sebesar 26,6 persen dalam jangka pendek dan 82,5 persen dalam jangka panjang. 4.3. Impor Beras Nasional Koefisien determinasi (R2) persamaan impor beras nasional adalah 0,6102 yang berarti 61,02 persen variasi peubah impor beras nasional dapat dijelaskan oleh variasi peubah-peubah penjelasnya. Harga impor berpengaruh siknifikan terhadap impor beras nasional pada taraf a = 0,15. Adapun nilai elastisitas impor beras nasional terhadap harga impor adalah elastis baik dalam jangka pendek (-1,089) dan jangka panjang (-2,1195). Artinya jika harga impor naik sebesar 1 persen maka akan menurunkan impor sebesar 1,089 persen dalam jangka pendek dan 2,1195 persen dalam jangka panjang. 4.4. Permintaan Beras Luar Jawa Koefisien determinasi (R2) persamaan permintaan beras luar Jawa adalah 0,9892 yang berarti 98,92 persen variasi peubah permintaan beras luar Jawa dapat dijelaskan oleh variasi peubah-peubah penjelasnya. Harga beras eceran berpengaruh tidak siknifikan terhadap permintaan beras luar Jawa, namun tanda koefisien harga beras eceran yang negatif telah sesuai dengan yang diharapkan yakni jika harga eceran beras naik maka jumlah beras yang diminta cenderung turun. 4.5. Harga Padi dan Beras Koefisien determinasi (R2) persamaan harga padi adalah 0,9939 yang berarti 99,39 persen variasi peubah harga padi dapat dijelaskan oleh variasi peubah-peubah penjelasnya. Sedangkan koefisien determinasi (R2) persamaan harga beras adalah 0,9954 menunjukkan 99,54 persen variasi peubah harga beras dapat dijelaskan oleh variasi peubah -peubah penjelasnya. 5.1. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perilaku areal panen padi di luar Jawa ternnyata hanya dipengaruhi oleh harga padi. Walaupun demikian elastisitas areal panen terhadap harga padi adalah inelastis. Fenomena ini menunjukkan harga padi akan mendorong petani meningkatkan produksi padi melalui peningkatan areal (ekstensifikasi), bukan melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi) karena harga padi tidak siknifikan pengaruhnya terhadap produktivitas padi. 2. Produksi beras luar Jawa tidak siknifikan pengaruhnya terhadap impor beras menunjukkan produksi beras di luar Jawa belum mampu menjadi kontributor yang siknifikan dalam mengurangi impor beras nasional. Hal ini menunjukkan luar Jawa belum berperan besar sebagai pensuplai beras nasional. 3. Permintaan beras di luar Jawa tidak dipengaruhi oleh harga beras tetapi sangat ditentukan oleh jumlah penduduknya. Hal ini menunjukkan permintaan beras luar Jawa di masa mendatang akan semakin meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk luar Jawa. 4. Harga padi di luar Jawa sangat ditentukan oleh harga dasar namun respon (elastisitas) harga padi terhadap harga dasar adalah inelastis (kurang dari satu). 5. Harga beras eceran luar Jawa dipengaruhi oleh harga dasar dan harga padi dengan nilai elastisitas harga beras eceran terhadap harga dasar dan harga padi itu adalah inelastis. 5.2. Implikasi Kebijakan Kebijakan yang dapat menolong harga padi di tingkat petani seperti harga dasar dan subsidi input adalah penting untuk tetap diterapkan untuk memacu produksi beras di luar Jawa. Hal ini karena harga dasar ini akan mempengaruhi harga padi dan selanjutnya harga padi akan memacu petani untuk meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi.

No comments:

Post a Comment